Selasa, 23 Juli 2013

Terang Gelap


Apakah aku menyesal? Iya, aku tidak pernah semenyesal ini sebelumnya. Tapi apa aku ingin mati? Mungkin, tapi saat ini mungkin tidak, mungkin. Tapi aku tidak menangis, bukan sok tegar bukan karena aku senang tapi aku hanya berfikir seberapa pantas aku menangis di depannya. Aku bediri di hadapannya dengan setengah sadar, otakku sudah tidak sinkron lagi, mungkin karena pukulan yang keras dan tiba – tiba itu, bukan pukulan benda tumpul atau tajam, pukulan ini lain, pukulan dasyat yang seketika mampu merusak syaraf – syaraf otakku, pukulan yang sakitnya seribu kali lipat dari pukulan – pukulan yang pernah aku rasakan. Kabar itu, iya pukulan yang tidak terlihat. 2 Maret 2013, hari ini, saat aku menerima kabar buruk, lebih tepatnya kabar paling buruk dalam hidupku, yang seketika, detik itu juga telah merusak syaraf otakku untuk beberapa menit. Aku pingsan, bukan mati. Aku berharap disaat aku tak sadarkan diri aku dapat bertemu dengan dia yang dengan baju putih ala surganya dan menyampaikan sederet kata – kata “aku menyayangimu lebih dari yang kau tahu, dear.”  Tapi  aku salah, ini bukan film. Aku disadarkan oleh suara gaduh di luar, aku sadar ini bukan film, bukan juga hayalanku, dan satu lagi yang sudah aku sadari, benar – benar sadar, otakku sudah benar, aku melihat sekeliling, lalu menangis, ada yang belum aku sampaikan kepadanya, tentang beberapa hal yang baru aku sadari, beberapa hal yang menyumbat perasaanku. Aku masih menangis dan aku berbisik pelan di hadapannya, “Terimakasih telah menyelesaikan dengan baik...”

23 Februari 2013
Ini weekend tapi aku sengaja tidak pulang, saat ibu menelpon dan bertanya kenapa tidak pulang aku hanya menjawab ada acara kampus. Aku bohong. Malas, malas dan tidak mau pulang sekarang, mungkin saat dia yang bernama Herman Tohari sudah pergi aku akan pulang. Hanya tidak ingin bertemu dengan dia. Hanya itu.
Masalah alasan tentang tidak pulang sudah beres. Lalu? Lalu mau apa aku disini sendirian? Teman – teman memilih pulang rumah, lalu aku? Oh iya, malam ini ada acara keakraban salah satu komunitas di kampus, apa salahnya aku ikut. Oke fix.

Di ruang, yang mereka sebut dengan basecamp.
Bla bla bla blaaa, entah mereka sedang berbicara apa, tak satu katapun masuk ke telingaku, mental. Aku berfikir kedatanganku hanya sekedar mengisi waktu kosongku, hanya itu. Aku duduk di bagian belakang, pojok, ramai tapi aku sendiri. Ini kali pertamaku datang ke tempat seperti ini, entah apa yang aku pikirkan tadi sehingga tempat ini yang aku pilih. Entahlah dan biarlah. I don’t care.
Aku melihat sekeliling ruangan ini, penuh dengan tempelan kata – kata yang aneh buatku, di depan ada baner besar yang bertuliskan “Eggle Wariors” dan di bawahnya ada sederet tulisan yang aku pikir itu adalah jargon mereka, “Be the world changer.” Tulisan – tulisan lainnya hanya seperti angin lalu bagiku, nothing special. Lamunanku buyar saat orang disebelahku menyapaku dengan ramah, dia manis. Namanya kak Ana, dia 3 tahun di atasku. “Hai, kamu anak baru ya? Soalnya aku belum pernah lihat kamu disini.” Oke, sebegitu ketaranya kalo baru kali ini aku kesini, atau memang dia semacam pengamat disini, yang melihat setiap anggotanya? Entahlah. “Iya kak, aku baru disini, aku flo, florance, kakak?” jawabku. “Ana.” Membalas jabatan tanganku dan tersenyum lagi, tangannya seakan berkata, ‘fokus dengan yang di depan ya’. Fokus. Baiklah.
“Mulailah dari hal yang terkecil, bentuk kasih bukan melulu datang dan memberi sesuatu kepada korban bencana, bukan hanya seperti itu saja, hari ini saat saya berbicara panjang lebar tinggi dalam di depan, dan anda semua mendengarkan dan mengimplikasikan perkataan saya di hidup anda, itu adalah bentuk kasih juga, yaitu saya yang membagikan kebenaran dan anda sekalian mendengarkan, itu kasih, kita saling menghormati.” Kata seorang laki – laki yang di depan, yang baru aku ketahui dia bernama Bang Randy, Stevanus Randy Purba. Dan itulah kalimat pertama yang aku dengarkan. Lalu dia, Bang Randy, pun melanjutkan perkataannya, “dan sekarang kita juga akan melalukan ungkapan kasih melalui satu tindakan kecil namun besar dampaknya. Menyapa dan tersenyum kepada orang yang sangat dekat dengan kita namun mungkin masih terabaikan oleh kita. Pikirkan, temukan siapa orang itu, berikanlah kasih yang tulus melalui sapaan, inilah saatnya kita berbagi kasih. So simple to do.” Dan itu adalah kalimat kedua yang aku dengarkan, benar – benar aku dengarkan dan benar – benar membuat aku berpikir, orang terdekat tapi terabaikan. Siapa? Ah, entahlah. Sudah lupakan saja apa kata orang itu.
            Pukul 22.05 aku sampai di kos tercinta, tapi apa yang harus aku lakukan lagi? Film. Iya film, aku akan menghabiskan malam ini dengan film, sisa film di laptop. Mencari tempat paling PW dan mulai.
Entah berapa film sudah aku habiskan malam ini, ternyata ini sudah pukul empat dini hari, tapi aku masih segar, mengantuk datanglah tolong. Aku rebahkan badan ke tempat tidur dan tiba – tiba teringat dengan perkataan Bang Randy lagi, sapa dan tersenyumlah kepada orang terdekatku yang masih terabaikan olehku. Siapa? Dan kenapa harus aku anggap serius perkataannya? Lagi pula siapa orang yang sudah aku abaikan? Aku tidak mungkin mengabaikan teman – temanku, aku orang teramah di kampus, dikalangan teman – temanku dan itu terbukti, tidak mungkin aku mengabaikan mereka, teman – temanku. Hey kenapa aku benar – benar memikirkan hal itu? Ini semakin lucu bagiku.

Kamis, waktu cepat sekali berputar, seharusnya aku pulang. Tapi. Tapi aku masih belum bisa memutuskan. Alasanku masih sama, hanya tidak ingin bertemu dengan dia, dia yang sering dipanggil dengan sebutan Ayah.
Aneh mungkin, tapi ini kenyataannya. Anak macam apa yang menyimpan dendam pada ayah kandungnya sendiri? Malin kundang abad 22 mungkin. Tapi inilah kenyataannya. Bukan aku yang mengharapkan ini tapi kenyataan yang mendorong aku masuk ke dalam permainannya. Aku sudah lupa dari mana awal mula semua ini, yang aku ingat hanya apapun yang aku lakukan selalu salah di matanya, begitu pula sebaliknya. Kami sudah tidak bicara satu sama lain sudah lebih dari 1 tahun. Semakin hari hubungan kami semakin rusak. Kuliah di luar kota mungkin pelarian paling diplomatis dan tidak terihat sebagai alibi. Mungkin. Aku kira ini akan hilang dimakan waktu, tapi aku salah. Begitu kerasnya aku mencoba untuk melupakan sakit hati yang sudah menumpuk ini tapi nihil, masih sama dan semakin berkarat. Perang dingin. Tak ada damai. Tentu. Hey apa ini? Kenapa aku jadi memikirkan hal yang membuat aku semakin membencinya? Ah, malas, sudah, lebih baik aku tidak pulang dulu.



Sabtu, 2 Maret 2013 pukul 04.00 dini hari
Aku jatuh dari tempat tidur, hanya jatuh dan kepalaku terbentur ujung meja, hanya terbentur, tidak luka dan tidak terasa begitu sakit, hanya terkaget, aneh aku terjatuh karena mimpi. Alhasil kantukku hilang. Bagus sekali! Ini masih dini hari dan belum ada manusia yang bangun sepagi ini. Aku terjaga sendirian. Hanya diam di dalam kamar yang menjadi teman berbincangku, kami berbincang asyik dalam diam. Lalu aku berbincang dengan isi otakku, aku berjalan – jalan dalam pikiranku sendiri, dan bertemu dengan seseorang, Bang Randy, Bang Randy dengan kata – katanya yang mengganggu, “sapa dan tersenyumlah kepada orang terdekatmu yang masih terabaikan olehmu.”  Sekali lagi aku bertanya, “siapa?”  Lalu aku menatap tajam pada cermin, disana aku bertemu dengan aku yang menyerupai aku, aku menemukan aku yang bukan seperti aku, aku yang disana seperti manusia tanpa masa depan, yang tidak punya hati damai, aku yang disana hanya punya satu rasa, kebencian, tidak ada cinta ataupun kasih. Hey! Kasih? Apa itu kasih? Lamunanku tentang sosok di dalam kaca seakan menampar aku. Kasih. Apa itu kasih? Sudahkah aku mengalaminya? Aku hanya diam dalam ragu, aku hanya mencoba berpikir keras tentang ‘senang’ yang aku rasakan selama ini. Aku menyadari sesuatu, aku senang, aku populer, aku dihargai banyak orang, aku punya banyak teman, mereka care dan terbuka kepadaku, lalu apa manfaatnya untukku? Oke baiklah mereka terbuka kepadaku, tapi sudahkah aku terbuka kepada mereka? Mereka care denganku tapi apa aku sudah care dengan mereka? Aku sadar satu hal lagi tentang seseorang yang terabaikan. Aku. Aku yang sudah mengabaikan aku. Ada kekosongan lain yang sulit aku terjemahkan saat aku berkata aku senang disini bersama teman – temanku. Aku hanya merasa ada yang kosong, hampa, tidak bisa diisi dengan hal lain, selain..., selain apa? Apa yang bisa mengisi kosongku? Kembali aku melihat sosok aku di dalam kaca. Aku yang kosong, aku yang bukan seperti aku yang terpikirkan selama ini, aku yang jauh dan kosong, tidak ada damai. Damai? Apa lagi itu? Apa damai itu? Apakah damai adalah sesuatu yang bisa menutup kekosonganku? Dimana aku bisa menemukan damai? Apa beda damai dengan senang yang selama ini aku rasakan bersama mereka? Samakah? Aku rasa bukan. Tapi. AAARRRRGGGHHH!! Apa ini? Kenapa aku merasa kacau? Kenapa pula aku memkirkan hal – hal seperti ini? Ini bukan aku! Iya ini bukan aku. Bukan aku, lalu siapa aku?
Pemikiran – pemikiran itu mulai membuat aku muak, sudahlah. Lupakan semua tentang kasih, damai dan tentang menyapa orang yang kuabaikan. Terabaikan? Bukankah aku orang yang terabaikan? Kapan terakhir ada orang yang benar – benar menanyakan kabarku, dan begitu bersemangat ingin mengetahui apa yang aku lakukan? Orang yang benar – benar mengasihiku? Hey mengasihi? Benar juga. Kapan terakhir itu aku rasakan? Saat masih kecil, mungkin, saat hubunganku dengan keluarga masih baik – baik saja, saat hubunganku dengan Ayah masih baik – baik saja, mungkin. Ini membuatku gila, aku tidak bisa berhenti memikirkan semua ini. Tapi. Tapi ini membuatku sedikit melihat, meskipun harus melalui kekacauan terlebih dahulu. Aku sadar akan beberapa hal, aku sadar betapa rusak hubunganku dengan mereka, meraka yang aku sebut keluarga, aku terlalu mengabaikan mereka sehingga aku mengabaikan diriku sendiri. Hey! Apa ini? Inikah jawabannya? Aku ingin melompat, dan inilah jawabannya, aku tahu! Ini bukan tentang kesalahan kenyataan yang memaksaku masuk dalam permainannya, ini tentang seberapa kuat aku keluar dari penjara pikiranku sendiri, bukan mereka yang salah, aku. Aku yang terlalu menutup diri, menutup mata dan hati. Ayah. bukan salah dia, tapi salahku yang terlalu fokus pada kesalahannya bukan pada usahanya mendekati aku sebagai anak yang ‘jauh’. I know! Begitu bersemangatnya aku pagi ini. Sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku mulai mengambil HP dan mencari satu nama ‘Ayah’, sudah. Tinggal tekan call, tapi aku berhenti. Ah apa yang aku tunggu? Lets do it Flo. Tapi Hpku berdering, tertera satu nama ‘ibu’, apa yang dilakukan ibu dini hari seperti ini menelpon aku?
“Hallo?” terdengar suara parau di seberang.
“Iya bu?”
“Kamu bisa pulang sekarang juga kan nak?”
“Ada apa bu? Nanti sore sajalah, ini masih dini hari.”
“Sudah sekarang saja, mas mu akan menjemputmu, bersiap – siaplah.”
“Mas mau menjemputku bu?”
Tut tut tut tut......... telpon mati.
Tidak biasa ibu seperti itu, seperti sedikit tidak sopan menutup telpon tanpa salam. Ya sudahlah aku turuti apa mau ibuku itu.
Seperti yang dikatakan ibu, 2 jam kemudian masku datang.  Kami juga tidak begitu dekat, berbicara hanya sekedarnya saja. Kali ini aku yang membuka pembicaraan.
            “emangnya ada apa sih mas?”
            “sudah nanti juga tahu.”
Sudah aku duga, jawaban yang singkat, padat dan sama sekali tidak jelas, bahkan itu bukan jawaban. Selanjutnya kami diam, hanya berbincang dengan diri masing – masing. Lalu aku ingat dengan kekacauanku tadi pagi, oh iya Ayah. Harusnya aku menelpon Ayah, aku sudah bertekat untuk memulai hal baik, seperti yang dikatakan Bang Randy, mulailah dengan hal kecil, menyapa. Iya menyapa. Aku ingin menanyakan kabar Ayah, entah kapan terakhir aku merakan rindu kepada Ayah, saat ini aku merasa rindu sekali, dan aku pikir rindu ini aku tunda saja sampai nanti di rumah dan bertemu dengan Ayah. Iya benar. Lebih baik begitu.

Di rumah.
            Ramai sekali, ada apa memangnya? Syukuran atas pulangnya aku? Ah, tidak mungkin. Semua berbaju hitam, di sudut rumah gerbang rumah ada bendera warna putih. Siapa yang meninggal? Aku menerka – nerka tapi sebenarnya tidak mau memikirkan hal terburuk itu. Aku masuk ke rumah dan aku dihadapkan dengan peti kaca besar, banyak bunga, wanginya menyengat. Aku masuk lebih dalam lagi, sekarang aku sangat dekat dengan peti itu, ada sesosok pria disana, dengan setelan jas hitam dan memegang semacam buku yang bertuliskan ‘Alkitab’. Aku menampar pipiku sekeras mungkin, hanya untuk memastikan ini mimpi, iya itu harapanku tapi aku salah. Ini nyata. Aku melihat sekeliling, aku kacau, tidak tahu harus bagaimana, aku gila tapi tidak menangis, aku diam, diam memandang ke arah dia, lalu ke arah kayu dengan sederet tulisan berbingkai bungai – bunga ‘Herman Tohari’, ini sudah cukup menjawab tapi aku tidak menginginkan jawaban itu, aku ingin dia, dia yang dulu, bukan dia yang hanya diam tidak bergerak ini. Aku ingin dia hidup lagi. Lalu aku melihat ibu yang lebih terlihat kacau dariipada aku, ibu yang berada dipelukan masku, aku melihat mereka berdua, seakan mata mereka berkata, “Iya flo, ini Ayahmu, dia sudah pergi mendahului kita.” Tapi aku masih tidak ingin bahkan tidak sudi menerimanya. Aku gila, syaraf otakku ‘rusak’. Dan pingsan, tepat di depannya, Herman Tohari.
Aku pingsan, bukan mati. Aku berharap disaat aku tak sadarkan diri aku dapat bertemu dengan dia yang dengan baju putih ala surganya dan menyampaikan sederet kata – kata“aku menyayangimu lebih dari yang kau tahu, dear.”  Tapi  aku salah, ini bukan film. Aku disadarkan oleh suara gaduh di luar, aku sadar ini bukan film, bukan juga hayalanku, dan satu lagi yang sudah aku sadari, benar – benar sadar, otakku sudah benar, aku melihat sekeliling, lalu menangis, ada yang belum aku sampaikan kepadanya, tentang beberapa hal yang baru aku sadari, beberapa hal yang menyumbat perasaanku. Aku masih menangis dan aku berbisik pelan di hadapannya, “Terimakasih telah menyelesaikan dengan baik. Aku sayang Ayah lebih dari yang aku sadari, terimakasih telah menjadi Ayahku.”



Untuk anak yang begitu menyayangi Ayahnya lebih dari yang dia duga. 






-Sinta Sary-

Rabu, 17 Juli 2013

True Love

Dia tersenyum namun hatinya bermandikan pilu
Sakitnya meradang ketika setetes darah jatuh dari siku mungilku
Dia menjadi pertama dan terakhir
Ketika aku menutup mata dan terjaga
Kenikmatan dan kepuasanku adalah bahagianya
Walau sisa menjadi miliknya
Tak pernah aku dengar keluh bosan dari bibir tuanya
Ketika dunia luar menjadi karibku
Tembok pemisah aku dirikan
Keakuanku menendang dia dari mimpi dan hariku
Ketika dunia seolah menolak aku
Aku menangis, sakit
Tak pernah aku sadari
Dialah yang pertama menangis untukku
Dia menangis jauh lebih pilu
Dia sakit jauh lebih menganga perih
Bahkan dia berdarah nanah
Ketika melihatku suri tersayat dunia di balik pintu itu
Seolah orang yang selama ini aku abaikan
Adalah dia yang selalu tanpa pamrih mencintaiku
Orang yang selama ini akau hindari
Adalah dia yang begitu rindu pelukan kecilku
Peluh darah untuk membahagiakanku tak pernah cukup
Untuk membuatku mengerti betapa besar kasih tulusnya untukku
Bebal! Sungguh buta!
Selalu menutup hati untuknya
Sekarang uban menjadi bagian masanya
Dipan reyot serasa merekat pada tubuh ringkihnya
Hari menggrogoti usianya
Sakitku akan dunia tak sebanding ketika melihat senyumnya memudar bisu tanpa daya
Air mata yang membasuh kakinya
Tak bisa membayar pengorbanannya
Sungguh aku mau menukar hariku
Atau apapun itu asalkan kecilku terulanghanya untuk memeluk dan menciumnya setiap harilalu berkata, “aku mencintaimu.”
Untuk wanita terhebat yang telah menjagaku dengan penuh cinta, ibu. 

Selasa, 16 Juli 2013

Untuk Pria yang Telah Tuhan Siapkan Untukku

Ini semua jadi candu bagiku
Aku dan seisi aku meregang di antara ruang
Kita terpisah, atau lebih tepatnya sengaja memisahkan diri
Tak kuasa melihat satu sama lain
Bukan karena takut salah satu dari kita terbunuh
Bukan!
Hanya takut itu akan menjadi perjumpaan sesaat yang mengharamkan kita
Logika dan batin saling beradu
Hampir aku menyerah, hampir, tapi tidak
Sampai qatam nafasku pun tidak!
Aku cukup kuat untuk memanggul onggokan siksaan ini
Aku berdoa kau pun serupa
Seruku pada Sang Khalik takkan terputus
Hanya karena tebalnya jenuh
Jenuh akan jengah melihat kita
Oase takkan sanggup pecahkan kita
Samudra tak mampu mematikan nafas kita
Salju akan menggigil melewati kita
Bertahanlah sebentar lagi
Kencangkan sabukmu, kita takkan mati tertimpa gunung batu
Aku takkan menangis jika tumbang
Karena aku tahu kau telah menumpu aku
Sampai akhirnya nanti
Jangan lengah!
 Ruang takkan bisa hambarkan kita
Bertahanlah sebentar lagi
Jangan biarkan kau dan seisimu mati tertelan dunia
Sodoran mereka tak pernah jauh nikmat
Dibanding paduan kita kelak
Kau paham benar tentang hal itu
Bertahanlah sebentar lagi
Sang Maha Kuasa pasti melihat begitu banyak rasa yang telah kita dayakan
Bersabarlah sebentar lagi
Pada akhirnya nanti kau dan aku pasti berpadu satu
Layaknya penantian Firdaus
Selalu ada kasih intim di sela hari dan malam
Sampai cahaya dunia tidak bersinar lagi
Kau mencintai Tuhan untuk mencintaiku
Begitupun aku
Aku berjanji dan berjanjilah padaku
Tuhan hanya sedang mempersiapkan kita berdua
Untuk hari bahagia yang telah tertulis rapi
Untuk pria hebat yang telah Tuhan siapkan untukku,

“aku mencintaimu dan terima kasih untuk cintamu kelak.”