Apakah aku menyesal? Iya, aku tidak pernah
semenyesal ini sebelumnya. Tapi apa aku ingin mati? Mungkin, tapi saat ini
mungkin tidak, mungkin. Tapi aku tidak menangis, bukan sok tegar bukan karena
aku senang tapi aku hanya berfikir seberapa pantas aku menangis di depannya.
Aku bediri di hadapannya dengan setengah sadar, otakku sudah tidak sinkron lagi,
mungkin karena pukulan yang keras dan tiba – tiba itu, bukan pukulan benda
tumpul atau tajam, pukulan ini lain, pukulan dasyat yang seketika mampu merusak
syaraf – syaraf otakku, pukulan yang sakitnya seribu kali lipat dari pukulan –
pukulan yang pernah aku rasakan. Kabar itu, iya pukulan yang tidak terlihat. 2
Maret 2013, hari ini, saat aku menerima kabar buruk, lebih tepatnya kabar
paling buruk dalam hidupku, yang seketika, detik itu juga telah merusak syaraf
otakku untuk beberapa menit. Aku pingsan, bukan mati. Aku berharap disaat aku
tak sadarkan diri aku dapat bertemu dengan dia yang dengan baju putih ala surganya
dan menyampaikan sederet kata – kata “aku
menyayangimu lebih dari yang kau tahu, dear.”
Tapi aku salah, ini bukan
film. Aku disadarkan oleh suara gaduh di luar, aku sadar ini bukan film, bukan
juga hayalanku, dan satu lagi yang sudah aku sadari, benar – benar sadar,
otakku sudah benar, aku melihat
sekeliling, lalu menangis, ada yang belum aku sampaikan kepadanya, tentang
beberapa hal yang baru aku sadari, beberapa hal yang menyumbat perasaanku. Aku
masih menangis dan aku berbisik pelan di hadapannya, “Terimakasih telah
menyelesaikan dengan baik...”
23 Februari 2013
Ini
weekend tapi aku sengaja tidak pulang, saat ibu menelpon dan bertanya kenapa
tidak pulang aku hanya menjawab ada acara kampus. Aku bohong. Malas, malas dan
tidak mau pulang sekarang, mungkin saat dia yang bernama Herman Tohari sudah
pergi aku akan pulang. Hanya tidak ingin bertemu dengan dia. Hanya itu.
Masalah alasan tentang tidak pulang sudah
beres. Lalu? Lalu mau apa aku disini sendirian? Teman – teman memilih pulang
rumah, lalu aku? Oh iya, malam ini ada acara keakraban salah satu komunitas di
kampus, apa salahnya aku ikut. Oke fix.
Di ruang, yang mereka sebut dengan
basecamp.
Bla bla bla
blaaa, entah mereka sedang berbicara apa, tak satu katapun masuk ke telingaku,
mental. Aku berfikir kedatanganku hanya sekedar mengisi waktu kosongku, hanya
itu. Aku duduk di bagian belakang, pojok, ramai tapi aku sendiri. Ini kali
pertamaku datang ke tempat seperti ini, entah apa yang aku pikirkan tadi
sehingga tempat ini yang aku pilih. Entahlah dan biarlah. I don’t care.
Aku melihat
sekeliling ruangan ini, penuh dengan tempelan kata – kata yang aneh buatku, di
depan ada baner besar yang bertuliskan “Eggle Wariors” dan di bawahnya ada
sederet tulisan yang aku pikir itu adalah jargon mereka, “Be the world
changer.” Tulisan – tulisan lainnya hanya seperti angin lalu bagiku, nothing
special. Lamunanku buyar saat orang disebelahku menyapaku dengan ramah, dia
manis. Namanya kak Ana, dia 3 tahun di atasku. “Hai, kamu anak baru ya? Soalnya
aku belum pernah lihat kamu disini.” Oke,
sebegitu ketaranya kalo baru kali ini aku kesini, atau memang dia semacam
pengamat disini, yang melihat setiap anggotanya? Entahlah. “Iya kak, aku
baru disini, aku flo, florance, kakak?” jawabku. “Ana.” Membalas jabatan
tanganku dan tersenyum lagi, tangannya seakan berkata, ‘fokus dengan yang di
depan ya’. Fokus. Baiklah.
“Mulailah dari
hal yang terkecil, bentuk kasih bukan melulu datang dan memberi sesuatu kepada
korban bencana, bukan hanya seperti itu saja, hari ini saat saya berbicara
panjang lebar tinggi dalam di depan, dan anda semua mendengarkan dan
mengimplikasikan perkataan saya di hidup anda, itu adalah bentuk kasih juga,
yaitu saya yang membagikan kebenaran dan anda sekalian mendengarkan, itu kasih,
kita saling menghormati.” Kata seorang laki – laki yang di depan, yang baru aku
ketahui dia bernama Bang Randy, Stevanus Randy Purba. Dan itulah kalimat pertama
yang aku dengarkan. Lalu dia, Bang Randy, pun melanjutkan perkataannya, “dan
sekarang kita juga akan melalukan ungkapan kasih melalui satu tindakan kecil
namun besar dampaknya. Menyapa dan
tersenyum kepada orang yang sangat dekat dengan kita namun mungkin masih terabaikan
oleh kita. Pikirkan, temukan siapa orang itu, berikanlah kasih yang tulus
melalui sapaan, inilah saatnya kita berbagi kasih. So simple to do.” Dan itu
adalah kalimat kedua yang aku dengarkan, benar – benar aku dengarkan dan benar
– benar membuat aku berpikir, orang terdekat tapi terabaikan. Siapa? Ah,
entahlah. Sudah lupakan saja apa kata orang itu.
Pukul 22.05 aku sampai di kos
tercinta, tapi apa yang harus aku lakukan lagi? Film. Iya film, aku akan
menghabiskan malam ini dengan film, sisa film di laptop. Mencari tempat paling
PW dan mulai.
Entah berapa
film sudah aku habiskan malam ini, ternyata ini sudah pukul empat dini hari,
tapi aku masih segar, mengantuk datanglah tolong. Aku rebahkan badan ke tempat
tidur dan tiba – tiba teringat dengan perkataan Bang Randy lagi, sapa dan tersenyumlah kepada orang
terdekatku yang masih terabaikan olehku. Siapa? Dan kenapa harus aku anggap
serius perkataannya? Lagi pula siapa orang yang sudah aku abaikan? Aku tidak
mungkin mengabaikan teman – temanku, aku orang teramah di kampus, dikalangan
teman – temanku dan itu terbukti, tidak mungkin aku mengabaikan mereka, teman –
temanku. Hey kenapa aku benar – benar memikirkan hal itu? Ini semakin lucu
bagiku.
Kamis, waktu cepat sekali berputar, seharusnya aku pulang. Tapi.
Tapi aku masih belum bisa memutuskan. Alasanku masih sama, hanya tidak ingin
bertemu dengan dia, dia yang sering dipanggil dengan sebutan Ayah.
Aneh
mungkin, tapi ini kenyataannya. Anak macam apa yang menyimpan dendam pada ayah
kandungnya sendiri? Malin kundang abad 22 mungkin. Tapi inilah kenyataannya. Bukan aku yang mengharapkan ini tapi
kenyataan yang mendorong aku masuk ke dalam permainannya. Aku sudah lupa
dari mana awal mula semua ini, yang aku ingat hanya apapun yang aku lakukan
selalu salah di matanya, begitu pula sebaliknya. Kami sudah tidak bicara satu
sama lain sudah lebih dari 1 tahun. Semakin hari hubungan kami semakin rusak.
Kuliah di luar kota mungkin pelarian paling diplomatis dan tidak terihat sebagai
alibi. Mungkin. Aku kira ini akan hilang dimakan waktu, tapi aku salah. Begitu
kerasnya aku mencoba untuk melupakan sakit hati yang sudah menumpuk ini tapi
nihil, masih sama dan semakin berkarat. Perang dingin. Tak ada damai. Tentu.
Hey apa ini? Kenapa aku jadi memikirkan hal yang membuat aku semakin
membencinya? Ah, malas, sudah, lebih baik aku tidak pulang dulu.
Sabtu,
2 Maret 2013 pukul 04.00 dini hari
Aku
jatuh dari tempat tidur, hanya jatuh dan kepalaku terbentur ujung meja, hanya
terbentur, tidak luka dan tidak terasa begitu sakit, hanya terkaget, aneh aku
terjatuh karena mimpi. Alhasil kantukku hilang. Bagus sekali! Ini masih dini
hari dan belum ada manusia yang bangun sepagi ini. Aku terjaga sendirian. Hanya
diam di dalam kamar yang menjadi teman berbincangku, kami berbincang asyik
dalam diam. Lalu aku berbincang dengan isi otakku, aku berjalan – jalan dalam
pikiranku sendiri, dan bertemu dengan seseorang, Bang Randy, Bang Randy dengan
kata – katanya yang mengganggu, “sapa dan
tersenyumlah kepada orang terdekatmu yang masih terabaikan olehmu.” Sekali lagi aku bertanya, “siapa?” Lalu aku menatap
tajam pada cermin, disana aku bertemu dengan aku yang menyerupai aku, aku
menemukan aku yang bukan seperti aku, aku yang disana seperti manusia tanpa
masa depan, yang tidak punya hati damai, aku yang disana hanya punya satu rasa,
kebencian, tidak ada cinta ataupun kasih. Hey! Kasih? Apa itu kasih? Lamunanku
tentang sosok di dalam kaca seakan menampar aku. Kasih. Apa itu kasih? Sudahkah
aku mengalaminya? Aku hanya diam dalam ragu, aku hanya mencoba berpikir keras
tentang ‘senang’ yang aku rasakan selama ini. Aku menyadari sesuatu, aku
senang, aku populer, aku dihargai banyak orang, aku punya banyak teman, mereka
care dan terbuka kepadaku, lalu apa manfaatnya untukku? Oke baiklah mereka
terbuka kepadaku, tapi sudahkah aku terbuka kepada mereka? Mereka care denganku
tapi apa aku sudah care dengan mereka? Aku sadar satu hal lagi tentang
seseorang yang terabaikan. Aku. Aku yang sudah mengabaikan aku. Ada kekosongan
lain yang sulit aku terjemahkan saat aku berkata aku senang disini bersama
teman – temanku. Aku hanya merasa ada yang kosong, hampa, tidak bisa diisi
dengan hal lain, selain..., selain apa? Apa yang bisa mengisi kosongku? Kembali
aku melihat sosok aku di dalam kaca. Aku yang kosong, aku yang bukan seperti
aku yang terpikirkan selama ini, aku yang jauh dan kosong, tidak ada damai.
Damai? Apa lagi itu? Apa damai itu? Apakah damai adalah sesuatu yang bisa
menutup kekosonganku? Dimana aku bisa menemukan damai? Apa beda damai dengan
senang yang selama ini aku rasakan bersama mereka? Samakah? Aku rasa bukan.
Tapi. AAARRRRGGGHHH!! Apa ini? Kenapa aku merasa kacau? Kenapa pula aku
memkirkan hal – hal seperti ini? Ini bukan aku! Iya ini bukan aku. Bukan aku,
lalu siapa aku?
Pemikiran
– pemikiran itu mulai membuat aku muak, sudahlah. Lupakan semua tentang kasih,
damai dan tentang menyapa orang yang kuabaikan. Terabaikan? Bukankah aku orang
yang terabaikan? Kapan terakhir ada orang yang benar – benar menanyakan
kabarku, dan begitu bersemangat ingin mengetahui apa yang aku lakukan? Orang
yang benar – benar mengasihiku? Hey mengasihi? Benar juga. Kapan terakhir itu
aku rasakan? Saat masih kecil, mungkin, saat hubunganku dengan keluarga masih
baik – baik saja, saat hubunganku dengan Ayah masih baik – baik saja, mungkin.
Ini membuatku gila, aku tidak bisa berhenti memikirkan semua ini. Tapi. Tapi
ini membuatku sedikit melihat, meskipun harus melalui kekacauan terlebih
dahulu. Aku sadar akan beberapa hal, aku sadar betapa rusak hubunganku dengan
mereka, meraka yang aku sebut keluarga, aku terlalu mengabaikan mereka sehingga
aku mengabaikan diriku sendiri. Hey! Apa ini? Inikah jawabannya? Aku ingin
melompat, dan inilah jawabannya, aku tahu! Ini bukan tentang kesalahan kenyataan
yang memaksaku masuk dalam permainannya, ini tentang seberapa kuat aku keluar
dari penjara pikiranku sendiri, bukan mereka yang salah, aku. Aku yang terlalu
menutup diri, menutup mata dan hati. Ayah. bukan salah dia, tapi salahku yang
terlalu fokus pada kesalahannya bukan pada usahanya mendekati aku sebagai anak
yang ‘jauh’. I know! Begitu bersemangatnya aku pagi ini. Sekarang aku tahu apa
yang harus aku lakukan. Aku mulai mengambil HP dan mencari satu nama ‘Ayah’,
sudah. Tinggal tekan call, tapi aku berhenti. Ah apa yang aku tunggu? Lets do it
Flo. Tapi Hpku berdering, tertera satu nama ‘ibu’, apa yang dilakukan ibu dini
hari seperti ini menelpon aku?
“Hallo?”
terdengar suara parau di seberang.
“Iya
bu?”
“Kamu
bisa pulang sekarang juga kan nak?”
“Ada
apa bu? Nanti sore sajalah, ini masih dini hari.”
“Sudah
sekarang saja, mas mu akan menjemputmu, bersiap – siaplah.”
“Mas
mau menjemputku bu?”
Tut
tut tut tut......... telpon mati.
Tidak biasa ibu
seperti itu, seperti sedikit tidak sopan menutup telpon tanpa salam. Ya
sudahlah aku turuti apa mau ibuku itu.
Seperti yang
dikatakan ibu, 2 jam kemudian masku datang.
Kami juga tidak begitu dekat, berbicara hanya sekedarnya saja. Kali ini
aku yang membuka pembicaraan.
“emangnya ada apa sih mas?”
“sudah nanti juga tahu.”
Sudah aku duga,
jawaban yang singkat, padat dan sama sekali tidak jelas, bahkan itu bukan
jawaban. Selanjutnya kami diam, hanya berbincang dengan diri masing – masing.
Lalu aku ingat dengan kekacauanku tadi pagi, oh iya Ayah. Harusnya aku menelpon
Ayah, aku sudah bertekat untuk memulai hal baik, seperti yang dikatakan Bang
Randy, mulailah dengan hal kecil, menyapa. Iya menyapa. Aku ingin menanyakan
kabar Ayah, entah kapan terakhir aku merakan rindu kepada Ayah, saat ini aku
merasa rindu sekali, dan aku pikir rindu ini aku tunda saja sampai nanti di
rumah dan bertemu dengan Ayah. Iya benar. Lebih baik begitu.
Di rumah.
Ramai sekali, ada apa memangnya?
Syukuran atas pulangnya aku? Ah, tidak mungkin. Semua berbaju hitam, di sudut
rumah gerbang rumah ada bendera warna putih. Siapa yang meninggal? Aku menerka
– nerka tapi sebenarnya tidak mau memikirkan hal terburuk itu. Aku masuk ke
rumah dan aku dihadapkan dengan peti kaca besar, banyak bunga, wanginya
menyengat. Aku masuk lebih dalam lagi, sekarang aku sangat dekat dengan peti
itu, ada sesosok pria disana, dengan setelan jas hitam dan memegang semacam
buku yang bertuliskan ‘Alkitab’. Aku menampar pipiku sekeras mungkin, hanya
untuk memastikan ini mimpi, iya itu harapanku tapi aku salah. Ini nyata. Aku
melihat sekeliling, aku kacau, tidak tahu harus bagaimana, aku gila tapi tidak
menangis, aku diam, diam memandang ke arah dia, lalu ke arah kayu dengan
sederet tulisan berbingkai bungai – bunga ‘Herman Tohari’, ini sudah cukup
menjawab tapi aku tidak menginginkan jawaban itu, aku ingin dia, dia yang dulu,
bukan dia yang hanya diam tidak bergerak ini. Aku ingin dia hidup lagi. Lalu
aku melihat ibu yang lebih terlihat kacau dariipada aku, ibu yang berada dipelukan
masku, aku melihat mereka berdua, seakan mata mereka berkata, “Iya flo, ini
Ayahmu, dia sudah pergi mendahului kita.” Tapi aku masih tidak ingin bahkan
tidak sudi menerimanya. Aku gila, syaraf otakku ‘rusak’. Dan pingsan, tepat di
depannya, Herman Tohari.
Aku pingsan, bukan mati. Aku berharap
disaat aku tak sadarkan diri aku dapat bertemu dengan dia yang dengan baju
putih ala surganya dan menyampaikan sederet kata – kata“aku menyayangimu lebih dari yang kau tahu, dear.” Tapi
aku salah, ini bukan film. Aku disadarkan oleh suara gaduh di luar, aku
sadar ini bukan film, bukan juga hayalanku, dan satu lagi yang sudah aku sadari,
benar – benar sadar, otakku sudah benar, aku
melihat sekeliling, lalu menangis, ada yang belum aku sampaikan kepadanya,
tentang beberapa hal yang baru aku sadari, beberapa hal yang menyumbat
perasaanku. Aku masih menangis dan aku berbisik pelan di hadapannya,
“Terimakasih telah menyelesaikan dengan baik. Aku sayang Ayah lebih dari yang
aku sadari, terimakasih telah menjadi Ayahku.”
Untuk anak yang begitu menyayangi Ayahnya lebih dari yang dia
duga.
-Sinta Sary-