Selasa, 23 Juli 2013

Terang Gelap


Apakah aku menyesal? Iya, aku tidak pernah semenyesal ini sebelumnya. Tapi apa aku ingin mati? Mungkin, tapi saat ini mungkin tidak, mungkin. Tapi aku tidak menangis, bukan sok tegar bukan karena aku senang tapi aku hanya berfikir seberapa pantas aku menangis di depannya. Aku bediri di hadapannya dengan setengah sadar, otakku sudah tidak sinkron lagi, mungkin karena pukulan yang keras dan tiba – tiba itu, bukan pukulan benda tumpul atau tajam, pukulan ini lain, pukulan dasyat yang seketika mampu merusak syaraf – syaraf otakku, pukulan yang sakitnya seribu kali lipat dari pukulan – pukulan yang pernah aku rasakan. Kabar itu, iya pukulan yang tidak terlihat. 2 Maret 2013, hari ini, saat aku menerima kabar buruk, lebih tepatnya kabar paling buruk dalam hidupku, yang seketika, detik itu juga telah merusak syaraf otakku untuk beberapa menit. Aku pingsan, bukan mati. Aku berharap disaat aku tak sadarkan diri aku dapat bertemu dengan dia yang dengan baju putih ala surganya dan menyampaikan sederet kata – kata “aku menyayangimu lebih dari yang kau tahu, dear.”  Tapi  aku salah, ini bukan film. Aku disadarkan oleh suara gaduh di luar, aku sadar ini bukan film, bukan juga hayalanku, dan satu lagi yang sudah aku sadari, benar – benar sadar, otakku sudah benar, aku melihat sekeliling, lalu menangis, ada yang belum aku sampaikan kepadanya, tentang beberapa hal yang baru aku sadari, beberapa hal yang menyumbat perasaanku. Aku masih menangis dan aku berbisik pelan di hadapannya, “Terimakasih telah menyelesaikan dengan baik...”

23 Februari 2013
Ini weekend tapi aku sengaja tidak pulang, saat ibu menelpon dan bertanya kenapa tidak pulang aku hanya menjawab ada acara kampus. Aku bohong. Malas, malas dan tidak mau pulang sekarang, mungkin saat dia yang bernama Herman Tohari sudah pergi aku akan pulang. Hanya tidak ingin bertemu dengan dia. Hanya itu.
Masalah alasan tentang tidak pulang sudah beres. Lalu? Lalu mau apa aku disini sendirian? Teman – teman memilih pulang rumah, lalu aku? Oh iya, malam ini ada acara keakraban salah satu komunitas di kampus, apa salahnya aku ikut. Oke fix.

Di ruang, yang mereka sebut dengan basecamp.
Bla bla bla blaaa, entah mereka sedang berbicara apa, tak satu katapun masuk ke telingaku, mental. Aku berfikir kedatanganku hanya sekedar mengisi waktu kosongku, hanya itu. Aku duduk di bagian belakang, pojok, ramai tapi aku sendiri. Ini kali pertamaku datang ke tempat seperti ini, entah apa yang aku pikirkan tadi sehingga tempat ini yang aku pilih. Entahlah dan biarlah. I don’t care.
Aku melihat sekeliling ruangan ini, penuh dengan tempelan kata – kata yang aneh buatku, di depan ada baner besar yang bertuliskan “Eggle Wariors” dan di bawahnya ada sederet tulisan yang aku pikir itu adalah jargon mereka, “Be the world changer.” Tulisan – tulisan lainnya hanya seperti angin lalu bagiku, nothing special. Lamunanku buyar saat orang disebelahku menyapaku dengan ramah, dia manis. Namanya kak Ana, dia 3 tahun di atasku. “Hai, kamu anak baru ya? Soalnya aku belum pernah lihat kamu disini.” Oke, sebegitu ketaranya kalo baru kali ini aku kesini, atau memang dia semacam pengamat disini, yang melihat setiap anggotanya? Entahlah. “Iya kak, aku baru disini, aku flo, florance, kakak?” jawabku. “Ana.” Membalas jabatan tanganku dan tersenyum lagi, tangannya seakan berkata, ‘fokus dengan yang di depan ya’. Fokus. Baiklah.
“Mulailah dari hal yang terkecil, bentuk kasih bukan melulu datang dan memberi sesuatu kepada korban bencana, bukan hanya seperti itu saja, hari ini saat saya berbicara panjang lebar tinggi dalam di depan, dan anda semua mendengarkan dan mengimplikasikan perkataan saya di hidup anda, itu adalah bentuk kasih juga, yaitu saya yang membagikan kebenaran dan anda sekalian mendengarkan, itu kasih, kita saling menghormati.” Kata seorang laki – laki yang di depan, yang baru aku ketahui dia bernama Bang Randy, Stevanus Randy Purba. Dan itulah kalimat pertama yang aku dengarkan. Lalu dia, Bang Randy, pun melanjutkan perkataannya, “dan sekarang kita juga akan melalukan ungkapan kasih melalui satu tindakan kecil namun besar dampaknya. Menyapa dan tersenyum kepada orang yang sangat dekat dengan kita namun mungkin masih terabaikan oleh kita. Pikirkan, temukan siapa orang itu, berikanlah kasih yang tulus melalui sapaan, inilah saatnya kita berbagi kasih. So simple to do.” Dan itu adalah kalimat kedua yang aku dengarkan, benar – benar aku dengarkan dan benar – benar membuat aku berpikir, orang terdekat tapi terabaikan. Siapa? Ah, entahlah. Sudah lupakan saja apa kata orang itu.
            Pukul 22.05 aku sampai di kos tercinta, tapi apa yang harus aku lakukan lagi? Film. Iya film, aku akan menghabiskan malam ini dengan film, sisa film di laptop. Mencari tempat paling PW dan mulai.
Entah berapa film sudah aku habiskan malam ini, ternyata ini sudah pukul empat dini hari, tapi aku masih segar, mengantuk datanglah tolong. Aku rebahkan badan ke tempat tidur dan tiba – tiba teringat dengan perkataan Bang Randy lagi, sapa dan tersenyumlah kepada orang terdekatku yang masih terabaikan olehku. Siapa? Dan kenapa harus aku anggap serius perkataannya? Lagi pula siapa orang yang sudah aku abaikan? Aku tidak mungkin mengabaikan teman – temanku, aku orang teramah di kampus, dikalangan teman – temanku dan itu terbukti, tidak mungkin aku mengabaikan mereka, teman – temanku. Hey kenapa aku benar – benar memikirkan hal itu? Ini semakin lucu bagiku.

Kamis, waktu cepat sekali berputar, seharusnya aku pulang. Tapi. Tapi aku masih belum bisa memutuskan. Alasanku masih sama, hanya tidak ingin bertemu dengan dia, dia yang sering dipanggil dengan sebutan Ayah.
Aneh mungkin, tapi ini kenyataannya. Anak macam apa yang menyimpan dendam pada ayah kandungnya sendiri? Malin kundang abad 22 mungkin. Tapi inilah kenyataannya. Bukan aku yang mengharapkan ini tapi kenyataan yang mendorong aku masuk ke dalam permainannya. Aku sudah lupa dari mana awal mula semua ini, yang aku ingat hanya apapun yang aku lakukan selalu salah di matanya, begitu pula sebaliknya. Kami sudah tidak bicara satu sama lain sudah lebih dari 1 tahun. Semakin hari hubungan kami semakin rusak. Kuliah di luar kota mungkin pelarian paling diplomatis dan tidak terihat sebagai alibi. Mungkin. Aku kira ini akan hilang dimakan waktu, tapi aku salah. Begitu kerasnya aku mencoba untuk melupakan sakit hati yang sudah menumpuk ini tapi nihil, masih sama dan semakin berkarat. Perang dingin. Tak ada damai. Tentu. Hey apa ini? Kenapa aku jadi memikirkan hal yang membuat aku semakin membencinya? Ah, malas, sudah, lebih baik aku tidak pulang dulu.



Sabtu, 2 Maret 2013 pukul 04.00 dini hari
Aku jatuh dari tempat tidur, hanya jatuh dan kepalaku terbentur ujung meja, hanya terbentur, tidak luka dan tidak terasa begitu sakit, hanya terkaget, aneh aku terjatuh karena mimpi. Alhasil kantukku hilang. Bagus sekali! Ini masih dini hari dan belum ada manusia yang bangun sepagi ini. Aku terjaga sendirian. Hanya diam di dalam kamar yang menjadi teman berbincangku, kami berbincang asyik dalam diam. Lalu aku berbincang dengan isi otakku, aku berjalan – jalan dalam pikiranku sendiri, dan bertemu dengan seseorang, Bang Randy, Bang Randy dengan kata – katanya yang mengganggu, “sapa dan tersenyumlah kepada orang terdekatmu yang masih terabaikan olehmu.”  Sekali lagi aku bertanya, “siapa?”  Lalu aku menatap tajam pada cermin, disana aku bertemu dengan aku yang menyerupai aku, aku menemukan aku yang bukan seperti aku, aku yang disana seperti manusia tanpa masa depan, yang tidak punya hati damai, aku yang disana hanya punya satu rasa, kebencian, tidak ada cinta ataupun kasih. Hey! Kasih? Apa itu kasih? Lamunanku tentang sosok di dalam kaca seakan menampar aku. Kasih. Apa itu kasih? Sudahkah aku mengalaminya? Aku hanya diam dalam ragu, aku hanya mencoba berpikir keras tentang ‘senang’ yang aku rasakan selama ini. Aku menyadari sesuatu, aku senang, aku populer, aku dihargai banyak orang, aku punya banyak teman, mereka care dan terbuka kepadaku, lalu apa manfaatnya untukku? Oke baiklah mereka terbuka kepadaku, tapi sudahkah aku terbuka kepada mereka? Mereka care denganku tapi apa aku sudah care dengan mereka? Aku sadar satu hal lagi tentang seseorang yang terabaikan. Aku. Aku yang sudah mengabaikan aku. Ada kekosongan lain yang sulit aku terjemahkan saat aku berkata aku senang disini bersama teman – temanku. Aku hanya merasa ada yang kosong, hampa, tidak bisa diisi dengan hal lain, selain..., selain apa? Apa yang bisa mengisi kosongku? Kembali aku melihat sosok aku di dalam kaca. Aku yang kosong, aku yang bukan seperti aku yang terpikirkan selama ini, aku yang jauh dan kosong, tidak ada damai. Damai? Apa lagi itu? Apa damai itu? Apakah damai adalah sesuatu yang bisa menutup kekosonganku? Dimana aku bisa menemukan damai? Apa beda damai dengan senang yang selama ini aku rasakan bersama mereka? Samakah? Aku rasa bukan. Tapi. AAARRRRGGGHHH!! Apa ini? Kenapa aku merasa kacau? Kenapa pula aku memkirkan hal – hal seperti ini? Ini bukan aku! Iya ini bukan aku. Bukan aku, lalu siapa aku?
Pemikiran – pemikiran itu mulai membuat aku muak, sudahlah. Lupakan semua tentang kasih, damai dan tentang menyapa orang yang kuabaikan. Terabaikan? Bukankah aku orang yang terabaikan? Kapan terakhir ada orang yang benar – benar menanyakan kabarku, dan begitu bersemangat ingin mengetahui apa yang aku lakukan? Orang yang benar – benar mengasihiku? Hey mengasihi? Benar juga. Kapan terakhir itu aku rasakan? Saat masih kecil, mungkin, saat hubunganku dengan keluarga masih baik – baik saja, saat hubunganku dengan Ayah masih baik – baik saja, mungkin. Ini membuatku gila, aku tidak bisa berhenti memikirkan semua ini. Tapi. Tapi ini membuatku sedikit melihat, meskipun harus melalui kekacauan terlebih dahulu. Aku sadar akan beberapa hal, aku sadar betapa rusak hubunganku dengan mereka, meraka yang aku sebut keluarga, aku terlalu mengabaikan mereka sehingga aku mengabaikan diriku sendiri. Hey! Apa ini? Inikah jawabannya? Aku ingin melompat, dan inilah jawabannya, aku tahu! Ini bukan tentang kesalahan kenyataan yang memaksaku masuk dalam permainannya, ini tentang seberapa kuat aku keluar dari penjara pikiranku sendiri, bukan mereka yang salah, aku. Aku yang terlalu menutup diri, menutup mata dan hati. Ayah. bukan salah dia, tapi salahku yang terlalu fokus pada kesalahannya bukan pada usahanya mendekati aku sebagai anak yang ‘jauh’. I know! Begitu bersemangatnya aku pagi ini. Sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku mulai mengambil HP dan mencari satu nama ‘Ayah’, sudah. Tinggal tekan call, tapi aku berhenti. Ah apa yang aku tunggu? Lets do it Flo. Tapi Hpku berdering, tertera satu nama ‘ibu’, apa yang dilakukan ibu dini hari seperti ini menelpon aku?
“Hallo?” terdengar suara parau di seberang.
“Iya bu?”
“Kamu bisa pulang sekarang juga kan nak?”
“Ada apa bu? Nanti sore sajalah, ini masih dini hari.”
“Sudah sekarang saja, mas mu akan menjemputmu, bersiap – siaplah.”
“Mas mau menjemputku bu?”
Tut tut tut tut......... telpon mati.
Tidak biasa ibu seperti itu, seperti sedikit tidak sopan menutup telpon tanpa salam. Ya sudahlah aku turuti apa mau ibuku itu.
Seperti yang dikatakan ibu, 2 jam kemudian masku datang.  Kami juga tidak begitu dekat, berbicara hanya sekedarnya saja. Kali ini aku yang membuka pembicaraan.
            “emangnya ada apa sih mas?”
            “sudah nanti juga tahu.”
Sudah aku duga, jawaban yang singkat, padat dan sama sekali tidak jelas, bahkan itu bukan jawaban. Selanjutnya kami diam, hanya berbincang dengan diri masing – masing. Lalu aku ingat dengan kekacauanku tadi pagi, oh iya Ayah. Harusnya aku menelpon Ayah, aku sudah bertekat untuk memulai hal baik, seperti yang dikatakan Bang Randy, mulailah dengan hal kecil, menyapa. Iya menyapa. Aku ingin menanyakan kabar Ayah, entah kapan terakhir aku merakan rindu kepada Ayah, saat ini aku merasa rindu sekali, dan aku pikir rindu ini aku tunda saja sampai nanti di rumah dan bertemu dengan Ayah. Iya benar. Lebih baik begitu.

Di rumah.
            Ramai sekali, ada apa memangnya? Syukuran atas pulangnya aku? Ah, tidak mungkin. Semua berbaju hitam, di sudut rumah gerbang rumah ada bendera warna putih. Siapa yang meninggal? Aku menerka – nerka tapi sebenarnya tidak mau memikirkan hal terburuk itu. Aku masuk ke rumah dan aku dihadapkan dengan peti kaca besar, banyak bunga, wanginya menyengat. Aku masuk lebih dalam lagi, sekarang aku sangat dekat dengan peti itu, ada sesosok pria disana, dengan setelan jas hitam dan memegang semacam buku yang bertuliskan ‘Alkitab’. Aku menampar pipiku sekeras mungkin, hanya untuk memastikan ini mimpi, iya itu harapanku tapi aku salah. Ini nyata. Aku melihat sekeliling, aku kacau, tidak tahu harus bagaimana, aku gila tapi tidak menangis, aku diam, diam memandang ke arah dia, lalu ke arah kayu dengan sederet tulisan berbingkai bungai – bunga ‘Herman Tohari’, ini sudah cukup menjawab tapi aku tidak menginginkan jawaban itu, aku ingin dia, dia yang dulu, bukan dia yang hanya diam tidak bergerak ini. Aku ingin dia hidup lagi. Lalu aku melihat ibu yang lebih terlihat kacau dariipada aku, ibu yang berada dipelukan masku, aku melihat mereka berdua, seakan mata mereka berkata, “Iya flo, ini Ayahmu, dia sudah pergi mendahului kita.” Tapi aku masih tidak ingin bahkan tidak sudi menerimanya. Aku gila, syaraf otakku ‘rusak’. Dan pingsan, tepat di depannya, Herman Tohari.
Aku pingsan, bukan mati. Aku berharap disaat aku tak sadarkan diri aku dapat bertemu dengan dia yang dengan baju putih ala surganya dan menyampaikan sederet kata – kata“aku menyayangimu lebih dari yang kau tahu, dear.”  Tapi  aku salah, ini bukan film. Aku disadarkan oleh suara gaduh di luar, aku sadar ini bukan film, bukan juga hayalanku, dan satu lagi yang sudah aku sadari, benar – benar sadar, otakku sudah benar, aku melihat sekeliling, lalu menangis, ada yang belum aku sampaikan kepadanya, tentang beberapa hal yang baru aku sadari, beberapa hal yang menyumbat perasaanku. Aku masih menangis dan aku berbisik pelan di hadapannya, “Terimakasih telah menyelesaikan dengan baik. Aku sayang Ayah lebih dari yang aku sadari, terimakasih telah menjadi Ayahku.”



Untuk anak yang begitu menyayangi Ayahnya lebih dari yang dia duga. 






-Sinta Sary-

Rabu, 17 Juli 2013

True Love

Dia tersenyum namun hatinya bermandikan pilu
Sakitnya meradang ketika setetes darah jatuh dari siku mungilku
Dia menjadi pertama dan terakhir
Ketika aku menutup mata dan terjaga
Kenikmatan dan kepuasanku adalah bahagianya
Walau sisa menjadi miliknya
Tak pernah aku dengar keluh bosan dari bibir tuanya
Ketika dunia luar menjadi karibku
Tembok pemisah aku dirikan
Keakuanku menendang dia dari mimpi dan hariku
Ketika dunia seolah menolak aku
Aku menangis, sakit
Tak pernah aku sadari
Dialah yang pertama menangis untukku
Dia menangis jauh lebih pilu
Dia sakit jauh lebih menganga perih
Bahkan dia berdarah nanah
Ketika melihatku suri tersayat dunia di balik pintu itu
Seolah orang yang selama ini aku abaikan
Adalah dia yang selalu tanpa pamrih mencintaiku
Orang yang selama ini akau hindari
Adalah dia yang begitu rindu pelukan kecilku
Peluh darah untuk membahagiakanku tak pernah cukup
Untuk membuatku mengerti betapa besar kasih tulusnya untukku
Bebal! Sungguh buta!
Selalu menutup hati untuknya
Sekarang uban menjadi bagian masanya
Dipan reyot serasa merekat pada tubuh ringkihnya
Hari menggrogoti usianya
Sakitku akan dunia tak sebanding ketika melihat senyumnya memudar bisu tanpa daya
Air mata yang membasuh kakinya
Tak bisa membayar pengorbanannya
Sungguh aku mau menukar hariku
Atau apapun itu asalkan kecilku terulanghanya untuk memeluk dan menciumnya setiap harilalu berkata, “aku mencintaimu.”
Untuk wanita terhebat yang telah menjagaku dengan penuh cinta, ibu. 

Selasa, 16 Juli 2013

Untuk Pria yang Telah Tuhan Siapkan Untukku

Ini semua jadi candu bagiku
Aku dan seisi aku meregang di antara ruang
Kita terpisah, atau lebih tepatnya sengaja memisahkan diri
Tak kuasa melihat satu sama lain
Bukan karena takut salah satu dari kita terbunuh
Bukan!
Hanya takut itu akan menjadi perjumpaan sesaat yang mengharamkan kita
Logika dan batin saling beradu
Hampir aku menyerah, hampir, tapi tidak
Sampai qatam nafasku pun tidak!
Aku cukup kuat untuk memanggul onggokan siksaan ini
Aku berdoa kau pun serupa
Seruku pada Sang Khalik takkan terputus
Hanya karena tebalnya jenuh
Jenuh akan jengah melihat kita
Oase takkan sanggup pecahkan kita
Samudra tak mampu mematikan nafas kita
Salju akan menggigil melewati kita
Bertahanlah sebentar lagi
Kencangkan sabukmu, kita takkan mati tertimpa gunung batu
Aku takkan menangis jika tumbang
Karena aku tahu kau telah menumpu aku
Sampai akhirnya nanti
Jangan lengah!
 Ruang takkan bisa hambarkan kita
Bertahanlah sebentar lagi
Jangan biarkan kau dan seisimu mati tertelan dunia
Sodoran mereka tak pernah jauh nikmat
Dibanding paduan kita kelak
Kau paham benar tentang hal itu
Bertahanlah sebentar lagi
Sang Maha Kuasa pasti melihat begitu banyak rasa yang telah kita dayakan
Bersabarlah sebentar lagi
Pada akhirnya nanti kau dan aku pasti berpadu satu
Layaknya penantian Firdaus
Selalu ada kasih intim di sela hari dan malam
Sampai cahaya dunia tidak bersinar lagi
Kau mencintai Tuhan untuk mencintaiku
Begitupun aku
Aku berjanji dan berjanjilah padaku
Tuhan hanya sedang mempersiapkan kita berdua
Untuk hari bahagia yang telah tertulis rapi
Untuk pria hebat yang telah Tuhan siapkan untukku,

“aku mencintaimu dan terima kasih untuk cintamu kelak.” 

Senin, 27 Mei 2013

Profesional Sinner



Di keramaian ini aku merasa sendiri, klise ya? :’)
Tapi beginilah adanya, di tengah lautan kesenangan makhluk lain aku terperosok dalam kediamanku yang paling sunyi. Bukan mengada – ada namun bukan juga harapku. Sepertinya setan mulai ngengrogoti imanku lagi, sedikit demi sedikit mereka melayangkan serangan intimidasinya, lagi dan lagi, masa laluku jadi senjata utama mereka dan hatiku adalah targetnya. Kalau aku begini adanya, tak berkawan, bukan maksud mengkambinghitamkan setan, tapi entahlah...
Aku heran dengan Sang Pencipta, dengan hidupku yang begitu busuk masih saja Dia memandangku murni tak bercela, ini bukan teori alkitabiah semata, bukti berceceran dalam berjuta lembar masaku. Begitu banyak cacian, hujatan dan makian yang aku lemparkan ke mukaNya, bukan sok mendramatisir tetapi inilah kebenarannya, begitu jahat dan pembangkangnya aku terhadap Dia, entah berapa triliun juta air mata yang Dia jatuhkan ketika melihat kebejatanku. Aku yang dengan sadar telah merusak tubuh dan jiwa yang Dia titipkan kepadaku ini. Aku remukan hatiNya yang Dia berikan kedapaku. Aku buang dan injak – injak semua harapan dan hidupNya yang dengan peluh kesakitan Dia relakan untuk aku. Aku maki setiap kasih yang Dia selipkan di antara mentari dan bulan. Menyalahgunakan berkatNya adalah hobiku. Bahkan tak jarang aku meminjam NamaNya untuk kesenanganku. Sungguh bukan jenis makhluk yang mesti dikasihani, dibuang mungkin yang paling benar. Dengan tanganku ini aku tak hanya menykiti Dia, semua orang disekitarku menjadi sasaran empuk mantan sekutu setan ini, orang tua bahkan diriku sendiri. Hancur, begitu tak layaknya hidupku ini. Benar – benar seonggok gadis yang tak murni ini pantas untuk dibinasakan.
Ini yang membuat aku heran dengan Dia, Yang Maha Suci. Bagaimana bisa, bagaimana mungkin Dia yang begitu suci dan sempurna mau memperhitungkan aku yang semacam ini. Sungguh inilah yang membuat aku bertelut pada kemurnian kasihNya, aku benar – benar tidak habis pikir, sebenarnya apa yang Dia lihat dari aku? Bahkan Dia memanggilku ‘anak’.
Kira – kira bulan November tahun lalu, saat itu aku selesai melakukan laranganNya yang sempat  jadi hobi favoriteku, aku diam dengan mata terpejam di bawah lengan seorang laki – laki yang sudah lama aku kenal. Aku senang tapi sedih, ada sesuatu yang mengganggu hatiku, seperti ada yang tidak beres dengan isi hatiku. Seharusnya aku bahagia bersama dengan orang yang aku cintai, tapi aku tidak. Aku menangis, menangis kesepian. Hampa dan tidak ada tentram, masih ada satu space di dalam potongan jiwaku itu. Aku tidak mengerti dan terus menangis, semakin deras dan ini membuat aku semakin hancur. Aku yang hanya berselimut pasmina keluar dari sarang pendosa itu, aku masih menangis dan menangis. Aku ingin dipeluk tapi bukan oleh laki – laki yang sedang pulas di dalam sana. Aku ingin... aku tidak tahu dengan apa yang aku inginkan. Lalu aku duduk dan tertidur dipojok bawah tangga. Sungguh menyedihkannya diriku.
Itu hanya setitik dari berjuta lembar dosaku.
Tahu tentang cerita pendosa kakap zaman nabi? Maria Magdalena. Aku menangis gila saat seseorang berhati malaikat berbicara tentang Maria, sekarang aku mengerti kenapa Dia yang Suci itu memandangku berharga.
“if any one of you without sin, let him be the first to throw a stone at her.” Lalu Dia mengulurkan tangan kepada perempuan pendosa itu. Sehitam – hitamnnya hati ketika kita mau mengangkat tangan untuk menyerah, saat itu juga Dia akan mengangkat kita. Semua orang berdosa, tidak ada satu insan pun yang berhak menghakimi kita. Begitu bijak dan berkuasanya Dia. Aku seperti Maria yang sedang dihujat dan ditolak dimana – mana, tapi Dia, Mesias yang Maha Suci itu, dengan kasihNya mau menyentuh aku bahkan memelukku.
“Go now, and leave your life of sin.”
Sebenarnya Dia yang paling berhak untuk melempar batu ke mukaku, tapi Dia tidak. Dia membiarkanku pergi dengan syarat hidup dalam jaminanNya. Sungguh sebuah keajaiban aku bisa berjumpa dan mengenal Dia, Dia yang luar biasa baik.
“It is not the healthy who need a doctor, but the sick. But go and learn what this means, “I desire mercy not sacrifice for i have not to call the righteous, but sinner.”
Dia datang bukan untuk orang benar tapi pendosa sepertiku, Dia mau  datang dan memulihkan aku, memelukku dan terus menggandengku sampai pada akhirnya kita benar – benar berkumpul di RumahNya. Begitu besar kasih dan cintaNya untuk aku, Dia Raja tapi mau mati untuk aku, mantan pemberontak. Tapi inilah kebenarannya darahNya memutihkanku.
Im forgiven, aku telah diampuni, aku telah disucikan, aku telah dipulihkan. Dia lebih dasyat dari dokter dunia, Dia mampu menyatukan hatiku yang sudah retak bahkan bercecer. Dia datang untuk menyentuh hati langsung. Sudah tidak ada penolakan dalam hidupku. Aku mau ikut Dia kemanapun Dia pergi. Memang benar jalanNya tidak selalu mulus, tapi selalu ada jaminan keselamatan  disetiap ketidakmulusan itu. Amazing Love! Praise The Lord! 

Untuk mantan profesional sinner yang telah diampuni, wanita hebat karena mau menerima Tuhan. 

Rabu, 20 Maret 2013

MATI


Mati
Aku mati ditelan takdir
Hasrat menyapu harapan
Semua lenyap dan menjadi gelap
Terang lagi
Lalu gelap
Gelap gelap gelap
Kosong kosong
Dan hampa
Inilah kebenarannya, aku hilang
Terhilang
Aku buta, atau dibutakan oleh takdir?
Abu – abu, random, dan semu
Iya semu, tidak ada keabadian yang nyata
Dan tidak ada kenyataan yang abadi
Aku sudah tidak mengenali aku
Atau aku hanya seonggok aku yang menyerupai aku?
Takdir yang jahat atau aku yang sudah menjahati takdir?
Semua menghimpit aku, aku berjalan di antara kegelapan
Dan aku sendiri, sendiri dan gelap
Aku tidak ingin berlari dari himpitanku, bukan karena tidak bisa
Karena  aku malu, malu pada takdir
Biarkan aku sembunyi di balik gelap ini
Jengah, sakit tapi ini lebih nyaman
Lebih nyaman dari terang itu, terang yang membunuhku lebih dalam lagi
Terang, sehingga aku dapat melihat mata itu
Mata yang seakan – akan ingin menikam aku
Aku terhakimi
Dan aku mati ditelan takdir
Waktu
Ini bukan waktuku, ini bukan milikku
Waktuku sudah tiada
Bukan terlambat, hanya memang sudah tiada waktu
Kesempatan
Aku mati sebelum berjumpa dengan kesempatan
Kini
Kini aku hanya bisa bercumbu dengan gelap
Kini aku hanya bisa diam
Aku tidak ingin berlari dari himpitanku, bukan karena tidak bisa
Karena  aku malu, malu pada takdir
Tapi
Tapi bagaimana bisa aku melihat begitu jelas ketika aku jatuh ke dalam ruang yang paling gelap?
Aku jatuh, terperosok, tenggelam dan mati
Mati, mati mati mati
Aku terjepit dan mati, mati dan meninggalkan gelap
Aku meninggalkan gelap dan menjadi gelap yang lain

Minggu, 10 Maret 2013

Mawar ke 15


Ini kebenarannya, tentang aku yang sudah lama kamu abaikan, atau memang sebenarnya kamu tidak menginginkan aku? Kamu pikir dengan mencoba melunturkan harapanku kamu bisa menghentikan langkahku? Salah besar. Aku tidak akan mundur. Walau sudah habis dayaku, aku tidak akan mundur. Apa? Aku terlalu ambisius dan memaksakan kehendak? Benarkah? Tidak. Aku rasa tidak, kamu hanya belum menyadari siapa kamu, dan seberapa berharganya kamu di mataku dan di mata dunia, duniaku. Mungkin kenyataan yang sudah menutup matamu, menutup pikiranmu dan menutup hatimu. Hampir tidak ada celah untuk aku masuk. Hampir. Tapi aku tidak akan mundur. Walau sudah habis dayaku, aku tidak akan mundur.
Ini mawar ke 14 yang aku berikan untukmu, hari ini aku akan menemui Ayah dan Ibumu. Ah sudah aku duga ini jawabanmu, sudah aku kira kamu akan menolak lagi. Baiklah mungkin tidak malam ini. Besok mungkin? Atau lusa? Atau... Atau kapan pun kamu siap, aku masih disini, disini menunggu, karena sudah aku bilang aku tidak akan mundur, tidak sesenti pun
Jangan terlalu menutup diri, jangan malu, jangan terlalu lama sembunyi dari kenyataan, keluarlah dan temukan kenyataan yang lebih indah, temukan bersamaku. Keluarlah, lihat begitu banyak bunga yang menantimu, bukan mawar hanya yang aku berikan saja. Lihatlah, keluarlah. Kau peri bunga, ratu kerajaan bunga. Temani? Dengan senang hati aku akan menemanimu sayang. Ayo kita bersiap keluar dari ruang 4x6 meter yang berbingkai foto – foto dan piagam – piagam tarimu itu. Tunggu sebentar aku akan mengambil kursi rodamu, tunggu disini dan tetap berbaring selama aku pergi. Tunggu aku dan kita akan menikmati dunia, dunia kita berdua. Kita akan mencari kenyataan yang indah untukmu, untuk kita. Bawa saja mawar ke 14mu, kita akan bandingkan ‘bunga’ mana yang paling indah dan menawan.
Jangan malu – malu melihat keluar sayang, ini terlalu menarik untuk dilewatkan. Berhentilah menunduk, menunduk dan hanya memandangi penumpu badanmu dan masa lalumu. Lihatlah ke depan, banyak sekali bunga – bunga yang iri melihatmu, mereka ingin memiliki senyumm, memiliki dan bersekutu damaimu dan an berkenalan denganmu, bunga terindah dari segala bunga yang ada.  Taukah kamu sayang, kamu adalah bunga teristimewa. Memang ada satu bagian dari dirimu yang patah, duri. Duri di tubuh bungamu tiada, tapi sadarkah kamu itu yang membuatmu istimewa? Hanya duri yang patah, bukan mahkotamu,  kaki yang patah, bukan harapanmu. Kamu hanya kehilangan duri, duri yang membuatmu sombon, dan menyakiti orang yang menginginimu.  Keluarlah.  Keluarlah dari jeratan pikiranmu. Keluarlah dan temukan kenyataan yang lebih indah.  Temukan bersamaku.
Satu lagi, ini mawar ke 15 yang aku berikan untukmu, mawar putih, mawar putih yang lain dari mawar – mawar yang ada. Mawar putih yang diciptakan Tuhan khusus untukmu. Mawar ini suci, tak akan menyakiti siapapun yang mengingininya. Sepertimu
“Mawar, will you be my future?”

Dia selalu melihat kesempurnaan di diri Mawar, cinta yang membalut dan menutup derita, derita menjelma jadi kasih. Sakit tidak akan terasa begitu menyakitkan saat mereka tetap memupuk cinta di setiap lembar kelopak kehidupan mereka.
Untuk lelaki sejati yang tulus mencintai istrinya sampai detik ini. Dan untuk wanita luar biasa yang terus berjalan tegak bersama suaminya sebagai kaki dan tumpuan. Om Awan dan Tante Mawar.

Sabtu, 23 Februari 2013

Yuna Lin

Sampai sekarang aku tetap tidak mengerti bagaimana dan kapan rasa ini hadir. Yang aku tahu hanya rasa aman ketika aku berlindung dibawah pelukamu, hangat, damai. Aku tidak akan menangis ketika aku jatuh sakit, aku tidak akan mengeluh dan memaki Tuhan ketika ada seseorang yang menyakiti hatiku selama kamu masih setia menemani aku disini, ya disini, disini bersamaku.
Masihkah kamu ingat ketika pertama kali kamu membuat aku menangis dengan lelucon klasikmu tentang vampir itu? Taukah kamu sebenarnya saat itu aku bahagia, rasa takut itu seketika hilang saat aku merasakan hangatnya pelukanmu untuk yang pertama kali. Aku ingin mengingat setiap hal yang sudah kita lalui bersama, aku ingin mengukir permanen wajahmu di pikiranku. Aku ingin merasakan kembali setiap detik kebersamaan kita.
Kamu itu sederhana namun berharga bagiku, kamu selalu menang dua langkah setelah aku, kamu itu ajaib, kamu adalah satu - satunya orang bisa mengubah sakit hati menjadi kasih. Kamu selalu mempunyanyi tempat khusus di hatiku. Tapi masih bisakah aku melihat senyum dan tawa surgamu itu? Bisakah aku mendengar teguran manismu yg tegas itu? Aku ingin semua itu kembali, karena saat itu juga jiwaku akan hidup lagi. Tawaku, semangatku, detak jantungku akan kembali lagi.

Bandara. Kenapa tempat itu selalu menjadi tempat perpisahan paling mengharukan. Ah.. begitu bodohnya aku yang merusak perpisahan itu dengan ego dan perasaanku, apa mungkin karena terlalu dalam perasaanku kepada dia sehingga begitu bodohnya aku saat itu. begitu kacaunya aku ketika detik - detik dia akan pergi sampai - sampai aku habis akal dan terjadilah pengakuan itu.

"Apakah kamu sudah memperhitungkan semuanya? 4 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Bagaimana bisa aku bertahan selama itu, tanpamu, tanpa ada kamu disini?"
"Dengar, kamu tidak bisa bergantung padaku selamanya. Kamu akan punya kehidupanmu sendiri dan akupun sama."
"Tapi aku ingin hidup selamanya bersamamu, aku ingin menghabiskan hidupku hanya bersamamu. Kita bisa mulai dari awal dengan cerita yang berbeda."
"Tidak bisa."
"Kenapa?"
"..."
"Kak, aku sebenarnya... selama ini... aku... maafkan aku kak, aku bukan adik yang baik, aku mencintaimu."

Dia memelukku, tapi sebenarnya aku tidak menginginkan pelukan dingin itu. Aku menangis. Hening.
Ini pertama kalinya aku ingin mengakhiri pelukan darinya. Tapi aku sengaja tidak bergerak karena mungkin itu pelukan terakhir yang aku rasakan. Tuhan, aku benar - benar mencintainya sekaligus benci, kenapa kita tercipta hanya sebagai saudara beda darah? Aku tidak terima semua ini, aku marah kepadaMu Tuhan. Bagaimana bisa Engkau ambil satu -satunya alasan untukku hidup? Engkau tahu dia segalanya bagiku, Engkau tahu aku mencintainya lebih dari segalanya.
Dia pergi ke negeri sebrang, tapi bagiku sekarang dia pergi untuk selamanya dari hatiku karena aku tahu sampai kapan pun 'dia' yang aku kenal tidak akan kembali lagi. Memang, aku bukanlah adik yang baik. Adik yang baik tidak pernah cemburu dan menyimpan cinta.

***
Dan ini saya persembahkan untuk Yuna teman jauhku yang sudah membuat Tuhan cemburu dan turun tangan. Yuna yang sengaja membutakan mata dan masih membukus rapi luka bernanah yang mulai karatan di hatinya, di sudut hatinya yang paling gelap. Aku menyayangimu :)